Kamis, 28 Mei 2015

Resume Buku Ki Hajar Dewantara Tentang Kebudayaan dan Kewanitaan



PEREMPUAN DI DALAM PERTUMBUHAN ADAB
Dalam “nomor wanita” dari majalah kita ini dapatlah pembaca melihat, betapa pentingnya soal keperempuan itu. Bermacam-macam pemandangan dari beberapa praeadviseur yang masing-masing berdiri pada sudut pandangan yang khusus, memberi penghargaan pada kita, bahwa nanti dimedan kongres perempuan yang akan berlangsung di Jakarta itu dapatlah agaknya soal keperempuanan itu diperbicangkan dengan mendalam lagi luas. Lagipula berjenis-jenisnya dasar kehidupan dari anggota-anggota kongres akan memberi kepastian, bahwa konklusi-konklusi yang akan dapat ditetapkan barang tentulah akan lebih sempurna, karena tidak hanya berdasarkan satu macam pandangan saja. Dengan adanya kaum agama, kaum idealis, kaum adab atau etik, pendek kata kaum kebatinan, tentulah tak akan dapat kaum materialis atau keduniawian memberi pengaruh lebih daripada mestinya; demikian pula dengan adanya golongan materialis ini tentulah angan-angan yang muluk-muluk tak akan dapat kesempatan untuk merajalela.
Memang sebenarnya soal perempuan itu tidak boleh dipandang dari satu sudut, menurut satu aliran, karena hidup perempuan itu tak lebih dan tak kurang ialah soal hidup kemanusiaan sepenuhnya, ialah soal keadaban semata-mata. Benar sekali pendirian dari salah seorang praeadviseur yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan itu ialah yang tertinggi di muka bumi ini, yaitu sebagai “Ibu” dari turunan manusia. Dalam kedudukan itu perempuan berdiri sejajar dan bersamaan derajat dengan laki-laki. Di dalam organisasi “Persatuan Tamansiswa” kedudukan perempuan yang luhur itu diujudkan terang dengan peraturan, bahwa “Badan Wanita Tamansiswa” itu tidak berdiri di bawah penguasa majelis luhur, akan tetapi berdiri sejajar di sampingnya. Sedangkan dalam peraturan dinyatakan, bahwa menurut anggapan tamansiswa, persatuan itu hanyalah dapat bersifat sempurna, jika ada bagian laki-laki dan bagian perempuannya dan yang kedua-duanya berkedudukan sama.
Teringatlah kita akan adanya “sayamvara” (sayembara) di dalam laku adab manusia di seluruh dunia. Sayamvara atau syarat pemilihan yang di dalam zaman ksatrian diujudkan dalam berjnis-jenis macam, menunjukan pada kita, bahwa itulah sesungguhnya suatu syarat untuk menyokong kemajuan hidup (evolusi).
“Barang siapa dapat mengalahkan diri saya”, demikianlah kira-kira bunyi sayamvara, “akan kuterima sebagai anak menantuku”. Teranglah disini bahwa untuk selamatnya turunan, tiap-tiap orang itu selalu berusaha mencari “lajer” atau penyambng keturunan yang kuat dalam segala-galanya.
Sebaliknya si “lajer turunan” jika ia sungguh beradab, tak akan suka menerima sembarang perempuan, karena “lajer” tak akan dapat menumbuhkan turunan yang baik, jika “pemangku turunannya” tidak sesuai. Bahwa untuk kemajuan hidup manusia nyatalah “lajer turunan” harus kuat, sedang “pemangku turunan” harus suci.
Berhubungan dengan soal sayamvara itu, patutlah pula kita ingat pada syarat lain yang terkenal dan juga diperuntukkan bagi kemajuan turunan, yaitu yang disebut syarat “bibit, bebet, bobot”. “Bibit” bermaksud: harus baik, sehat, utuh, dan sempurna bibitnya, yaitu tubuh jasmaninya si lajer atau si pemangku (syarat fisik); “bebet” bermaksud: harus berasal dari turunan yang baik, misalnya turunan ksatria, turunan dari pendeta, dan sebagainya (syarat biogenetis); “bobot” bermaksud: harus baik, dan berat isinya (syarat kebatinan). Di sinilah terbukti adanya ilmu eugenetik nasional.
Kalau kita menengok ke dalam ilmu pengetahuan, maka teringatlah kita pada perkataan “teeltkeuze” atau “seleksi” dan menurut kaum Darwin, Hackel, Hugo de Vries, dan lain-lain, sayamvara itu terdapat juga di dalam hidupnya mahluk seumumnya dan segala tumbuh-tumbuhan di alam dunia ini, dalam alam mana juga ternyata segala sifat keperempuanan itu berdiri sejajar, dan bersamaan harga dengan segala sifat kelaki-lakian, sedangkan masing-masingnya mempunyai syarat-syarat sendiri, yang semuanya bermaksud memperbaiki turunan (seleksi-evolusi-kelanjutan turunan).
Dengan mengemukakan kepentingan soal keperempuanan dari pandangan keadaban, maka tak lainlah maksud saya hanya memperingatkan kepada kongres perempuan yang akan datang khususnya, kepada kaum perempuan dan kaum pergerakan umumnya, bahwa perlu sekali di dalam kita memperbincangkan soal itu, senantiasa ingat pada kodratnya perempuan sebagai ibu turunan kita. Dengan mengingat kedudukan dan sifat kodrati dari perempuan itu, niscayalah kita lalu akan mudah mengerti akan segala keadaan dari kaum perempuan, baik yang mengenai hidup kebatinannya, maupun yang berubungan dengan hidup lahirnya. Lalu akan mudahlah juga kita mencari dan menetapkan usaha memperbaiki hidupnya kaum perempuan, guna kemajuan bangsa kita khususnya dan kemajuan masyarakat kemanusiaan pada umumnya.
                                                                                    “Waita” Juli 1935, Th. 1 No. 6

KEMAJUAN ADAB PEREMPUAN
Kongres Jakarta dan Protes Semarang
            Kongres perempuan yang ke-2 sedah berlangsung di Jakarta dengan kesudahan yang boleh dibilang memuaskan. Sungguhpun keluarnya “isteri sedar” dari “perikatan” itu oleh sementara pihak dianggap perpecahan yang menyesalkan, tetapi dalam hakikatnya perpisahan itu adalah sifatnya diferensiasi, yang membuktikan kemajuannya pergerakan. Jika perpisahan itu tidak terjadi, mustahillah aliran-aliran dari hidup perempuan, yang bergaris dalam dan longgar, akan dapat kemajuan yang agak luas dan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Pada waktu PPII terjadi, kurang lebih setengah windu yang lalu di Mataram, datanglah berkumpul bermacam-macam perhimpunan perempuan untuk mengadakan perikatan. Yang satu berasas kebangsaan, lainnya berdiri tegak di atas dasar agama, adapula yang menganjurkan aliran kemasyarakatan, keekonomian, kerumahtanggaan pun ada juga wakilnya di dalam perikatan itu. Barangtentu kemajuan PPII tak dapat berlangsung dengan cepat dan kuat, karena kemurnian asas dan tujuan di situ tiada mungkin dipersatukan.
Lima tahun berlalu sesudah itu; beberapa perhimpunan perempuan dari bangsa kita Indonesia lambat laun dapat menambah dan menyusun kekuatannya masing-masing, dan meskipun beberapa dari perhimpunan-perhimpunan itu tak dapat besar jumlah anggotanya, akan tetapi adalah, yang walaupun kurus badannya, tetapi kuatlah jiwanya. Sebaliknya ada pula yang dapat membanggakan dirinya karena banyaknya anggota, tetapi tak seberapalah harganya di dalam evolusi perempuan, yang dapat mempertinggi derajat dan adab kaum ibu sebagai manusia.
Kami sendiri senantiasa mempertahankan “persatuan” di dalam kalangan pergerakan bangsa Indonesia, akan tetapi berulang-ulang kami menganjurkan juga “persatuan yang sehat”; dan boleh jadi masih ada yang ingat, ketika akan terjadinya PPPKI di Surabaya, kami berseru: “janganlah mengadakan een broze eenheid, yang terbawa dari voosheid di dalam isinya dan tiap-tiap waktu akan dapat pecah”. (persatuan yang “gropok” isinya itu mudah pecahnya). Itulah sebabnya kami hanya mufakat jika persatuan itu dapat terwujud sebagai een natuurlijke eenheid atau suatu persatuan yang absah menurut kodratnya sendiri. Di mana tidak ada persatuan kodrat, disitulah hanya boleh diadakan persatuan “insidental”, yaitu hanya kadang-kadang dimana mungkin, sedangkan dalam umumnya bagian-bagiannya masing-masing berdiri merdeka dengan sikap gescheiden samengaan, yakni berbarengan maju tetapi dengan jalan sendiri-sendiri.
Kaum Permi istri sudah cukup terkenal sebagai pergerakan perempuan di daerah sumatera, yang berkobar-kobar semangatnya menurut aliran islam. Di tanah jawa pun kita juga sudah tak bersangsi pula terhadap pada keteguhan dan kesucian dari golongan Isteri sedar, yang dipimpin oleh Nyi Soewarni Pringgodigdo, sungguh sayap kiri yang radikal dari pergerakan perempuan kita. Sebagai Permi putri juga, maka Isteri sedarlah yang dibilang suatu aliran yang lebih bersifat “emansipasi” daripada “evolusi” dalam arti yang umum dan lazim terpakai. Dua-duanya tampak pada kita sebagai aliran “revolusioner” di dalam arti kultural.
Sekarang datanglah waktunya dua pihak itu berpisahan, karena Permi tak suka, lebih tegas tak bisa meninggalkan syarat-syarat islam, sedang kaum Isteri sedar tak suka terikat oleh syarat apapun juga di dalam mereka mencari jalan merdeka untuk mempertinggi derajatperempuan sebagai anggota masyarakat.
Soal poligami, yang menjadi sebab berpisahan antara pihak perempuan merdeka dan pihak islam, menurut anggapan kami hanya satu pasal daripada beberapa, yang kaum radikal tentu tak akan dapat berkompromi dengan kaum agama. Dimana pergerakan perempuan Indonesia sekarang sudah menganjurkan perbaikan nasib kaum buruh perempuan, niscayalah tak akan lama lagi datangnya perlawanan antara kaum duniawi  dan kaum agama, yang boleh jadi menimbulkan pula dua pasal yang terkenal, ialah “historis materialism” dan “klassenstrijd” nya.
Belumlah suara dan warta kongres perempuan hilang kabur, menyusullah aksi protes di Semarang, yang ditujukan kepada “Concours Loerik-Kleeding” dari “Pasar Malam” di Semarang, konkurs mana oleh kaum kebangsaan, teristimewa oleh pihak perempuan kita dianggapnya sebagai “schoonheidswedstrijd”. Pokok dari perlawanan ialah karena di dalam konkurs ini kaum perempuan Indonesia dipakai sebagai alat pertunjukan guna mencari uang.
Disinilah harus diketahui, bahwa meskipun Pasar Malam di Semarang itu kepunyaan bangsa Tionghoa, tetapi bukan bangsa itulah yang diprotes. Kemasgulan hati ditujukan pda subkomite konkurs tersebut, yang dipeopori oleh kaum intelektual Indonesia sendiri. Dari pihak Tionghoa sendiri ada pula golongan yang tidak setuju pada adanya cara ke-Baratan (yang berlawanan dengan rasa ke-Timuran itu) terpakai untuk rakyat Indonesia. Dengan penting ringkas Sin Po menggambarkan “loerik-kleeding-concours” itu sebagai pertandingan, dalam mana buku de verpakking, akan tetapi de inhoud-lah yang menjadi atraksi.
Protes yang timbul di Semarang dan akan menjalar kemana-mana itu teranglah suatu bukti, bahwa kaum perempuan kita dengan persetujuan dan sokongan dari kaum kebangsaan dalam umumnya, sungguhlah sadar, lagi selalu bersedia untuk membela diri dimana borjuis hendak mempermainkan mereka guna alat kesenangan (atraksi, penarik) dan alat untuk mencari uang. Oleh karena banyak orang mengira, bahwa schoonheidswedstrijden itu di Eropa dianggap “bukan apa-apa”, maka pantaslah disini kami beritahukan, bahwa anggapan itu salah belaka. Kaum agama dan kaum adab (ethicie) di Eropa senantiasa menghalang-halangi berlakunya cara mengadu kecantikan itu. Sungguh amat sayanglah ada kaum intelektual dari bangsa kita, hingga zaman kini, belum insaf akan semangat kebangsaan dalam hal kesusilaan keperempuanan.
Barang siapa beranggapan, bahwa derajat keibuan itulah suatu factor yang terpenting untuk kemajuan bangsa, maka mersa giranglah melihat sepak terjang pihak perempuan kita, seperti ternyata pada rapat besar perempuan di Jakarta dan di dalam aksi protes di Semarang, yang akan menjalar di mana-mana tempat itu, karena kesadaran dan kegiatan kaum ibu semata-mata tanda kemajuan dari bangsa kita seluhrunya.
                                                                                    “Wasita” Agustus 1935
                                                                                    Tahun 1 No. 7

BERKOBARNYA RASA KEHORMATAN DAN RASA KEBANGSAAN
MOSI MATARAM
Badan pembela derajat isteri Indonesia cabang Mataram terdiri dari perhimpunan-perhimpunan dan badan-badan: P4A, Aisiyah, Wanita Katholik, Wanita Tamansiswa, Tsteri Sedar, Isteri Indonesia, Mari Wanita, Taman Ibu, Adhidarmo, OKSB, POKSB, Tamansiswa cabang Mataram, Majelis Luhur Tamnsiswa, KBI, Majelis Pertahanan Islam, KW, PKN, PSIM, HB PPPB, PKO, PB PSII, Idem Cabang Mataram, PKW, PB PARII, Idem Cabang Mataram, Puroso RDS, PB NSB;
Berapat pada hari Ahad tangga 4 Agustus 1935 di gedung Tamansiswa Mataram, untuk memperbincangkan soal konkurs Berpakaian Lurik untuk Perempuan Indonesia, yang diadakan oleh dan di medan Pasar Malam si Semarang;
Setelah mendengarkan uraian-uraian dari Pengurus Besar P4 A, dari Utusan Hoofdcomite BPDII di Semarang, dari Utusan P4 A, yang telah diutus menyaksikan sendiri keadaannya dan berlakunya konkurs tersebut, dari tuan Legosoehoto sebagai seseorang yang turut menyiar-menyiarkan pemberitahuan dari Komite Konkurs tersebut dengan radio kepunyaan MAVRO, yang beliau turut menjadi pengemudinya, dari pembicara lain-lainnya;
                                                                        “Wasita” Agustus 1935, Th. 1 No. 7

LAPANGAN KERJA BAGI PEREMPUAN
Salah satu dari lapangan yang pada zaman kini amat pentingnya, ialah soal mata pencaharian untuk kaum perempuan kita. Terpaksa oleh keadaan yang boleh dikatakan menghancurkan penghidupan di dalam keluarga, maka berduyun-duyun kaum perempuan meninggalkan rumah keluarganya untuk mendatangi macam-macam sumber pencaharian.
Tentang mata pencaharian orang laki-laki bukanlah suatu soal baru dan saya tak akan membicarakannya pula, karena hal itu semata-mata soal ekonomi yang tak berbeda dengan keadaan dilain negeri. Sebaliknya tentang sifatnya mata pencaharian buat kaum perempuan, itulah tidak saja tampak sebagai soal penghidupan belaka, akan tetapi juga sebagai masalah yang berhubungan dengan peri keadaban kita, yaitu karena cara hidup perempuan kita amat berbeda dengan cara hidupnya kaum perempuan di negeri-negeri yang disebut “modern”. Menurut kodratnya perempuan, sudah teranglah hidup perempuan itu berbeda dengan hidup orang laki-laki; tak boleh kedua-duanya itu disamakan. Perbedaan itu tidak saja mengenai hidup jasmaninya, pun juga hidup rohaninya.
Selain daripada soal “kejasmanian” yang sudah dimasukkandalam hokum negeri, buat kita -kaum pendidik- perlulah juga memperbincangkan soal “kemoralan”, yang berhubungan lekat dengan hidupnya perempuan kita. Banyak pula macam-macam mata pencaharian yang melulu mempergunakan orang perempuan selaku penarik, misalnya perempuan dijadikan “mannequin”, perempuan sebagai penari atau pemain music, dan sebagainya.
Kaum majikan atau lebih tegas kaum murka benda mempergunakan orang perempuan sebagai pegawainya itu bermcam-macam maksudnya: a. semata-mata untuk menarik public karena kecantikannya; b. untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan laku kemaksiatan; c. karena orang perempuan sebagai pegawai biasanya lebih murah daripada pegawai laki-laki; d. ada pula kaum majikan memakai kaum perempuan itu, sebab mereka lebih cakap melakukan pekerjaan-pekerjaan yang khusus dan pasti, misalnya jabatan pengasuh anak-anak, juru rawat, bidan, modes, guru, dan sebagainya, yang semuanya itu sesuai dengan kodratnya perempuan.
Sesudah kita menetahui keadaan itu, barangtentulah kita dapat lebih berhati-hati di dalam mencari pekerjaan buat kaum perempuan kita. Sebagai kelanjutan orientasi haruslah kita mengingati hal-hal yang tersebut di bawah ini, dengan maksud supaya pilihan kita itu akan bermanfaat untuk selamat bahagianya si pekerja perempuan, maupun untuk masyarakat kita umumnya.
Yang pertama kali wajiblah kita menyelidiki keadaan lahir dan batin dari si perempuan yang akan mencari jabatan. Bagaimanakah dasar-dasarnya kebatinan atau budi pekerti? Tertibkah tingkah lakunya? Cukupkah pengetahuannya untuk dapat melakukan pekerjaannya itu? Lagi pula cakapkah atau kuatkah tubuhnya untuk jabatan itu? Demikianlah seterusnya pertanyaan-pertanyaan yang mengenai keadaan jiwa dan raganya si perempuan yang akan melakukan pekerjaan itu. Janganlah agaknya orang perempuan menjabat pekerjaan, yang tidak selaras dengan kecakapannya, baik yang berhubungan dengan pikiran dan pengetahuannya, maupun kebatinannya (jiwa, perasaan) atau dengan keadaan jasmaninya (kesehatan).
Kedua kalinya haruslah kita selalu mengingat akan banyak atau sedikitnya jabatan-jabatan itu di dalam masyarakat. Jika lowongan jabatan itu hanya sedikit, janganlah kiranya kita menganjur-anjurkan anak-anak perempuan kita untuk mengejar jabatan itu, kalau ia sekiranya tidak terbilang sungguh pandai, hingga melebihi kecakapannya orang-orang lain buat pekerjaan itu. Lain daripada itu, kalau terlampau banyak orang menyukai suatu pekerjaan yang hanya memerlukan orang sedikit, itulah sering mengurangi semangat untuk mencari jabatan-jabatan lain, lalu boleh dikatakan menyempitkan alam jabatan.
Ketiga kalinya wajiblah kita selalu mengindahkan keinginan dari anak-anak kita, agar mereka dapat memilih dengan merdeka; karena pilihan yang merdeka itu –asalkan berlaku dengan sabar- akan memberi rasa puas atau bahagia kepada anak-anak kita. Perlu juga disini diperingatkan, bahwa pilihan itu barulah boleh dilakukan sesudah anak-anak kita itu dewasa dan cakap memikir-mikirkan kepentingan sendiri.
Keempat kalinya di dalam kita berdaya upaya mencarikan pekerjaan bagi anak-anak perempuan kita, janganlah sekali-kali kita lupa akan apa yang sudah kita terangkan di bagian I, yaitu tentang bedanya pejabat laki-laki dengan perempuan. Dimana orang perempuan senantiasa dikeilingi oleh macam-macam keadaan yang mengkhawatirkan keselamatannya, maka perlulah kita selalu menimbang-nimbang, berat manakah kepentingan penghidupan (ekonomi) dengan kepentingan kehidupan (kebahagiaan).
Pada akhir pemandangan ini patutlah kiranya kita membanding-banding keadaan “pilihan pekerjaan” buat perempuan di Eropa dan di negeri kita sendiri, dengan mengingat segala hubungan dan ukuran, yang tak boleh kita lupakan, yakni pertimbangan kebangsaan, kemoralan, perikehidupan, dan sebagainya, agar supaya dapat luaslah pemandangan kita. Boleh jadi karena perhatian kita terhadap soal yang penting ini, kemudia kita akan dapat mengadakan sifat-sifat dan ujud-ujud jabatan, yang sesuai dengan hidup dan penghidupan kaum perempuan kita pada zaman baru ini.
                                                                                                “Wasita” Okt/Nop 1935
                                                                                                Th. Ke-1 No. 9/10          

Sumber: Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Kedua "Kebudayaan" tema Kebudayaan dan Kewanitaan hal. 258-270.
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar