PEREMPUAN DI DALAM PERTUMBUHAN ADAB
Dalam
“nomor wanita” dari majalah kita ini dapatlah pembaca melihat, betapa
pentingnya soal keperempuan itu. Bermacam-macam pemandangan dari beberapa praeadviseur yang masing-masing berdiri
pada sudut pandangan yang khusus, memberi penghargaan pada kita, bahwa nanti
dimedan kongres perempuan yang akan berlangsung di Jakarta itu dapatlah agaknya
soal keperempuanan itu diperbicangkan dengan mendalam lagi luas. Lagipula
berjenis-jenisnya dasar kehidupan dari anggota-anggota kongres akan memberi
kepastian, bahwa konklusi-konklusi yang akan dapat ditetapkan barang tentulah
akan lebih sempurna, karena tidak hanya berdasarkan satu macam pandangan saja.
Dengan adanya kaum agama, kaum idealis, kaum adab atau etik, pendek kata kaum
kebatinan, tentulah tak akan dapat kaum materialis atau keduniawian memberi
pengaruh lebih daripada mestinya; demikian pula dengan adanya golongan
materialis ini tentulah angan-angan yang muluk-muluk tak akan dapat kesempatan
untuk merajalela.
Memang
sebenarnya soal perempuan itu tidak boleh dipandang dari satu sudut, menurut
satu aliran, karena hidup perempuan itu tak lebih dan tak kurang ialah soal
hidup kemanusiaan sepenuhnya, ialah soal keadaban semata-mata. Benar sekali
pendirian dari salah seorang praeadviseur
yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan itu ialah yang tertinggi di muka bumi
ini, yaitu sebagai “Ibu” dari turunan manusia. Dalam kedudukan itu perempuan
berdiri sejajar dan bersamaan derajat dengan laki-laki. Di dalam organisasi “Persatuan
Tamansiswa” kedudukan perempuan yang luhur itu diujudkan terang dengan
peraturan, bahwa “Badan Wanita Tamansiswa” itu tidak berdiri di bawah penguasa
majelis luhur, akan tetapi berdiri sejajar di sampingnya. Sedangkan dalam
peraturan dinyatakan, bahwa menurut anggapan tamansiswa, persatuan itu hanyalah
dapat bersifat sempurna, jika ada bagian laki-laki dan bagian perempuannya dan
yang kedua-duanya berkedudukan sama.
Teringatlah
kita akan adanya “sayamvara” (sayembara) di dalam laku adab manusia di seluruh
dunia. Sayamvara atau syarat
pemilihan yang di dalam zaman ksatrian diujudkan dalam berjnis-jenis macam,
menunjukan pada kita, bahwa itulah sesungguhnya suatu syarat untuk menyokong
kemajuan hidup (evolusi).
“Barang
siapa dapat mengalahkan diri saya”, demikianlah kira-kira bunyi sayamvara, “akan kuterima sebagai anak
menantuku”. Teranglah disini bahwa untuk selamatnya turunan, tiap-tiap orang
itu selalu berusaha mencari “lajer” atau penyambng keturunan yang kuat dalam
segala-galanya.
Sebaliknya
si “lajer turunan” jika ia sungguh beradab, tak akan suka menerima sembarang
perempuan, karena “lajer” tak akan dapat menumbuhkan turunan yang baik, jika
“pemangku turunannya” tidak sesuai. Bahwa untuk kemajuan hidup manusia nyatalah
“lajer turunan” harus kuat, sedang “pemangku turunan” harus suci.
Berhubungan
dengan soal sayamvara itu, patutlah pula kita ingat pada syarat lain yang
terkenal dan juga diperuntukkan bagi kemajuan turunan, yaitu yang disebut
syarat “bibit, bebet, bobot”. “Bibit” bermaksud: harus baik, sehat, utuh, dan
sempurna bibitnya, yaitu tubuh jasmaninya si lajer atau si pemangku (syarat
fisik); “bebet” bermaksud: harus berasal dari turunan yang baik, misalnya
turunan ksatria, turunan dari pendeta, dan sebagainya (syarat biogenetis);
“bobot” bermaksud: harus baik, dan berat isinya (syarat kebatinan). Di sinilah
terbukti adanya ilmu eugenetik nasional.
Kalau
kita menengok ke dalam ilmu pengetahuan, maka teringatlah kita pada perkataan
“teeltkeuze” atau “seleksi” dan menurut kaum Darwin, Hackel, Hugo de Vries, dan
lain-lain, sayamvara itu terdapat juga di dalam hidupnya mahluk seumumnya dan
segala tumbuh-tumbuhan di alam dunia ini, dalam alam mana juga ternyata segala
sifat keperempuanan itu berdiri sejajar, dan bersamaan harga dengan segala
sifat kelaki-lakian, sedangkan masing-masingnya mempunyai syarat-syarat
sendiri, yang semuanya bermaksud memperbaiki turunan
(seleksi-evolusi-kelanjutan turunan).
Dengan
mengemukakan kepentingan soal keperempuanan dari pandangan keadaban, maka tak
lainlah maksud saya hanya memperingatkan kepada kongres perempuan yang akan
datang khususnya, kepada kaum perempuan dan kaum pergerakan umumnya, bahwa
perlu sekali di dalam kita memperbincangkan soal itu, senantiasa ingat pada
kodratnya perempuan sebagai ibu turunan kita. Dengan mengingat kedudukan dan
sifat kodrati dari perempuan itu, niscayalah kita lalu akan mudah mengerti akan
segala keadaan dari kaum perempuan, baik yang mengenai hidup kebatinannya,
maupun yang berubungan dengan hidup lahirnya. Lalu akan mudahlah juga kita
mencari dan menetapkan usaha memperbaiki hidupnya kaum perempuan, guna kemajuan
bangsa kita khususnya dan kemajuan masyarakat kemanusiaan pada umumnya.
“Waita”
Juli 1935, Th. 1 No. 6
KEMAJUAN ADAB PEREMPUAN
Kongres Jakarta dan Protes Semarang
Kongres
perempuan yang ke-2 sedah berlangsung di Jakarta dengan kesudahan yang boleh
dibilang memuaskan. Sungguhpun keluarnya “isteri sedar” dari “perikatan” itu
oleh sementara pihak dianggap perpecahan yang menyesalkan, tetapi dalam
hakikatnya perpisahan itu adalah sifatnya diferensiasi, yang membuktikan
kemajuannya pergerakan. Jika perpisahan itu tidak terjadi, mustahillah
aliran-aliran dari hidup perempuan, yang bergaris dalam dan longgar, akan dapat
kemajuan yang agak luas dan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Pada
waktu PPII terjadi, kurang lebih setengah windu yang lalu di Mataram, datanglah
berkumpul bermacam-macam perhimpunan perempuan untuk mengadakan perikatan. Yang
satu berasas kebangsaan, lainnya berdiri tegak di atas dasar agama, adapula
yang menganjurkan aliran kemasyarakatan, keekonomian, kerumahtanggaan pun ada
juga wakilnya di dalam perikatan itu. Barangtentu kemajuan PPII tak dapat
berlangsung dengan cepat dan kuat, karena kemurnian asas dan tujuan di situ
tiada mungkin dipersatukan.
Lima
tahun berlalu sesudah itu; beberapa perhimpunan perempuan dari bangsa kita
Indonesia lambat laun dapat menambah dan menyusun kekuatannya masing-masing,
dan meskipun beberapa dari perhimpunan-perhimpunan itu tak dapat besar jumlah
anggotanya, akan tetapi adalah, yang walaupun kurus badannya, tetapi kuatlah
jiwanya. Sebaliknya ada pula yang dapat membanggakan dirinya karena banyaknya
anggota, tetapi tak seberapalah harganya di dalam evolusi perempuan, yang dapat
mempertinggi derajat dan adab kaum ibu sebagai manusia.
Kami
sendiri senantiasa mempertahankan “persatuan” di dalam kalangan pergerakan
bangsa Indonesia, akan tetapi berulang-ulang kami menganjurkan juga “persatuan
yang sehat”; dan boleh jadi masih ada yang ingat, ketika akan terjadinya PPPKI
di Surabaya, kami berseru: “janganlah mengadakan een broze eenheid, yang terbawa dari voosheid di dalam isinya dan tiap-tiap waktu akan dapat pecah”.
(persatuan yang “gropok” isinya itu mudah pecahnya). Itulah sebabnya kami hanya
mufakat jika persatuan itu dapat terwujud sebagai een natuurlijke eenheid atau suatu persatuan yang absah menurut
kodratnya sendiri. Di mana tidak ada persatuan kodrat, disitulah hanya boleh
diadakan persatuan “insidental”, yaitu hanya kadang-kadang dimana mungkin,
sedangkan dalam umumnya bagian-bagiannya masing-masing berdiri merdeka dengan
sikap gescheiden samengaan, yakni berbarengan maju tetapi dengan jalan
sendiri-sendiri.
Kaum
Permi istri sudah cukup terkenal sebagai pergerakan perempuan di daerah
sumatera, yang berkobar-kobar semangatnya menurut aliran islam. Di tanah jawa
pun kita juga sudah tak bersangsi pula terhadap pada keteguhan dan kesucian
dari golongan Isteri sedar, yang dipimpin oleh Nyi Soewarni Pringgodigdo,
sungguh sayap kiri yang radikal dari pergerakan perempuan kita. Sebagai Permi
putri juga, maka Isteri sedarlah yang dibilang suatu aliran yang lebih bersifat
“emansipasi” daripada “evolusi” dalam arti yang umum dan lazim terpakai.
Dua-duanya tampak pada kita sebagai aliran “revolusioner” di dalam arti
kultural.
Sekarang
datanglah waktunya dua pihak itu berpisahan, karena Permi tak suka, lebih tegas
tak bisa meninggalkan syarat-syarat islam, sedang kaum Isteri sedar tak suka
terikat oleh syarat apapun juga di dalam mereka mencari jalan merdeka untuk
mempertinggi derajatperempuan sebagai anggota masyarakat.
Soal
poligami, yang menjadi sebab berpisahan antara pihak perempuan merdeka dan
pihak islam, menurut anggapan kami hanya satu pasal daripada beberapa, yang
kaum radikal tentu tak akan dapat berkompromi dengan kaum agama. Dimana
pergerakan perempuan Indonesia sekarang sudah menganjurkan perbaikan nasib kaum
buruh perempuan, niscayalah tak akan lama lagi datangnya perlawanan antara kaum
duniawi dan kaum agama, yang boleh jadi
menimbulkan pula dua pasal yang terkenal, ialah “historis materialism” dan “klassenstrijd” nya.
Belumlah
suara dan warta kongres perempuan hilang kabur, menyusullah aksi protes di
Semarang, yang ditujukan kepada “Concours
Loerik-Kleeding” dari “Pasar Malam” di Semarang, konkurs mana oleh kaum
kebangsaan, teristimewa oleh pihak perempuan kita dianggapnya sebagai
“schoonheidswedstrijd”. Pokok dari perlawanan ialah karena di dalam konkurs ini
kaum perempuan Indonesia dipakai sebagai alat pertunjukan guna mencari uang.
Disinilah
harus diketahui, bahwa meskipun Pasar Malam di Semarang itu kepunyaan bangsa
Tionghoa, tetapi bukan bangsa itulah yang diprotes. Kemasgulan hati ditujukan
pda subkomite konkurs tersebut, yang dipeopori oleh kaum intelektual Indonesia
sendiri. Dari pihak Tionghoa sendiri ada pula golongan yang tidak setuju pada
adanya cara ke-Baratan (yang berlawanan dengan rasa ke-Timuran itu) terpakai
untuk rakyat Indonesia. Dengan penting ringkas Sin Po menggambarkan
“loerik-kleeding-concours” itu sebagai pertandingan, dalam mana buku de verpakking, akan tetapi de inhoud-lah yang menjadi atraksi.
Protes
yang timbul di Semarang dan akan menjalar kemana-mana itu teranglah suatu
bukti, bahwa kaum perempuan kita dengan persetujuan dan sokongan dari kaum
kebangsaan dalam umumnya, sungguhlah sadar, lagi selalu bersedia untuk membela
diri dimana borjuis hendak mempermainkan mereka guna alat kesenangan (atraksi, penarik)
dan alat untuk mencari uang. Oleh karena banyak orang mengira, bahwa
schoonheidswedstrijden itu di Eropa dianggap “bukan apa-apa”, maka pantaslah
disini kami beritahukan, bahwa anggapan itu salah belaka. Kaum agama dan kaum
adab (ethicie) di Eropa senantiasa menghalang-halangi berlakunya cara mengadu
kecantikan itu. Sungguh amat sayanglah ada kaum intelektual dari bangsa kita,
hingga zaman kini, belum insaf akan semangat kebangsaan dalam hal kesusilaan
keperempuanan.
Barang
siapa beranggapan, bahwa derajat keibuan itulah suatu factor yang terpenting
untuk kemajuan bangsa, maka mersa giranglah melihat sepak terjang pihak
perempuan kita, seperti ternyata pada rapat besar perempuan di Jakarta dan di
dalam aksi protes di Semarang, yang akan menjalar di mana-mana tempat itu,
karena kesadaran dan kegiatan kaum ibu semata-mata tanda kemajuan dari bangsa
kita seluhrunya.
“Wasita”
Agustus 1935
Tahun
1 No. 7
BERKOBARNYA RASA KEHORMATAN DAN
RASA KEBANGSAAN
MOSI MATARAM
Badan
pembela derajat isteri Indonesia cabang Mataram terdiri dari
perhimpunan-perhimpunan dan badan-badan: P4A, Aisiyah, Wanita Katholik, Wanita
Tamansiswa, Tsteri Sedar, Isteri Indonesia, Mari Wanita, Taman Ibu, Adhidarmo,
OKSB, POKSB, Tamansiswa cabang Mataram, Majelis Luhur Tamnsiswa, KBI, Majelis
Pertahanan Islam, KW, PKN, PSIM, HB PPPB, PKO, PB PSII, Idem Cabang Mataram,
PKW, PB PARII, Idem Cabang Mataram, Puroso RDS, PB NSB;
Berapat
pada hari Ahad tangga 4 Agustus 1935 di gedung Tamansiswa Mataram, untuk
memperbincangkan soal konkurs Berpakaian Lurik untuk Perempuan Indonesia, yang
diadakan oleh dan di medan Pasar Malam si Semarang;
Setelah
mendengarkan uraian-uraian dari Pengurus Besar P4 A, dari Utusan Hoofdcomite BPDII di Semarang, dari
Utusan P4 A, yang telah diutus menyaksikan sendiri keadaannya dan berlakunya
konkurs tersebut, dari tuan Legosoehoto sebagai seseorang yang turut
menyiar-menyiarkan pemberitahuan dari Komite Konkurs tersebut dengan radio
kepunyaan MAVRO, yang beliau turut menjadi pengemudinya, dari pembicara lain-lainnya;
“Wasita”
Agustus 1935, Th. 1 No. 7
LAPANGAN KERJA BAGI PEREMPUAN
Salah
satu dari lapangan yang pada zaman kini amat pentingnya, ialah soal mata
pencaharian untuk kaum perempuan kita. Terpaksa oleh keadaan yang boleh
dikatakan menghancurkan penghidupan di dalam keluarga, maka berduyun-duyun kaum
perempuan meninggalkan rumah keluarganya untuk mendatangi macam-macam sumber
pencaharian.
Tentang
mata pencaharian orang laki-laki bukanlah suatu soal baru dan saya tak akan
membicarakannya pula, karena hal itu semata-mata soal ekonomi yang tak berbeda
dengan keadaan dilain negeri. Sebaliknya tentang sifatnya mata pencaharian buat
kaum perempuan, itulah tidak saja tampak sebagai soal penghidupan belaka, akan
tetapi juga sebagai masalah yang berhubungan dengan peri keadaban kita, yaitu
karena cara hidup perempuan kita amat berbeda dengan cara hidupnya kaum
perempuan di negeri-negeri yang disebut “modern”. Menurut kodratnya perempuan,
sudah teranglah hidup perempuan itu berbeda dengan hidup orang laki-laki; tak
boleh kedua-duanya itu disamakan. Perbedaan itu tidak saja mengenai hidup
jasmaninya, pun juga hidup rohaninya.
Selain
daripada soal “kejasmanian” yang sudah dimasukkandalam hokum negeri, buat kita
-kaum pendidik- perlulah juga memperbincangkan soal “kemoralan”, yang
berhubungan lekat dengan hidupnya perempuan kita. Banyak pula macam-macam mata
pencaharian yang melulu mempergunakan orang perempuan selaku penarik, misalnya
perempuan dijadikan “mannequin”, perempuan sebagai penari atau pemain music,
dan sebagainya.
Kaum
majikan atau lebih tegas kaum murka benda mempergunakan orang perempuan sebagai
pegawainya itu bermcam-macam maksudnya: a. semata-mata untuk menarik public
karena kecantikannya; b. untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan laku
kemaksiatan; c. karena orang perempuan sebagai pegawai biasanya lebih murah daripada
pegawai laki-laki; d. ada pula kaum majikan memakai kaum perempuan itu, sebab
mereka lebih cakap melakukan pekerjaan-pekerjaan yang khusus dan pasti,
misalnya jabatan pengasuh anak-anak, juru rawat, bidan, modes, guru, dan
sebagainya, yang semuanya itu sesuai dengan kodratnya perempuan.
Sesudah
kita menetahui keadaan itu, barangtentulah kita dapat lebih berhati-hati di
dalam mencari pekerjaan buat kaum perempuan kita. Sebagai kelanjutan orientasi
haruslah kita mengingati hal-hal yang tersebut di bawah ini, dengan maksud
supaya pilihan kita itu akan bermanfaat untuk selamat bahagianya si pekerja
perempuan, maupun untuk masyarakat kita umumnya.
Yang
pertama kali wajiblah kita menyelidiki keadaan lahir dan batin dari si
perempuan yang akan mencari jabatan. Bagaimanakah dasar-dasarnya kebatinan atau
budi pekerti? Tertibkah tingkah lakunya? Cukupkah pengetahuannya untuk dapat
melakukan pekerjaannya itu? Lagi pula cakapkah atau kuatkah tubuhnya untuk
jabatan itu? Demikianlah seterusnya pertanyaan-pertanyaan yang mengenai keadaan
jiwa dan raganya si perempuan yang akan melakukan pekerjaan itu. Janganlah
agaknya orang perempuan menjabat pekerjaan, yang tidak selaras dengan
kecakapannya, baik yang berhubungan dengan pikiran dan pengetahuannya, maupun
kebatinannya (jiwa, perasaan) atau dengan keadaan jasmaninya (kesehatan).
Kedua
kalinya haruslah kita selalu mengingat akan banyak atau sedikitnya
jabatan-jabatan itu di dalam masyarakat. Jika lowongan jabatan itu hanya
sedikit, janganlah kiranya kita menganjur-anjurkan anak-anak perempuan kita
untuk mengejar jabatan itu, kalau ia sekiranya tidak terbilang sungguh pandai,
hingga melebihi kecakapannya orang-orang lain buat pekerjaan itu. Lain daripada
itu, kalau terlampau banyak orang menyukai suatu pekerjaan yang hanya memerlukan
orang sedikit, itulah sering mengurangi semangat untuk mencari jabatan-jabatan
lain, lalu boleh dikatakan menyempitkan alam jabatan.
Ketiga
kalinya wajiblah kita selalu mengindahkan keinginan dari anak-anak kita, agar
mereka dapat memilih dengan merdeka; karena pilihan yang merdeka itu –asalkan
berlaku dengan sabar- akan memberi rasa puas atau bahagia kepada anak-anak
kita. Perlu juga disini diperingatkan, bahwa pilihan itu barulah boleh
dilakukan sesudah anak-anak kita itu dewasa dan cakap memikir-mikirkan
kepentingan sendiri.
Keempat
kalinya di dalam kita berdaya upaya mencarikan pekerjaan bagi anak-anak
perempuan kita, janganlah sekali-kali kita lupa akan apa yang sudah kita
terangkan di bagian I, yaitu tentang bedanya pejabat laki-laki dengan perempuan.
Dimana orang perempuan senantiasa dikeilingi oleh macam-macam keadaan yang
mengkhawatirkan keselamatannya, maka perlulah kita selalu menimbang-nimbang,
berat manakah kepentingan penghidupan (ekonomi) dengan kepentingan kehidupan
(kebahagiaan).
Pada
akhir pemandangan ini patutlah kiranya kita membanding-banding keadaan “pilihan
pekerjaan” buat perempuan di Eropa dan di negeri kita sendiri, dengan mengingat
segala hubungan dan ukuran, yang tak boleh kita lupakan, yakni pertimbangan
kebangsaan, kemoralan, perikehidupan, dan sebagainya, agar supaya dapat luaslah
pemandangan kita. Boleh jadi karena perhatian kita terhadap soal yang penting
ini, kemudia kita akan dapat mengadakan sifat-sifat dan ujud-ujud jabatan, yang
sesuai dengan hidup dan penghidupan kaum perempuan kita pada zaman baru ini.
“Wasita”
Okt/Nop 1935
Th.
Ke-1 No. 9/10
Sumber: Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Kedua "Kebudayaan" tema Kebudayaan dan Kewanitaan hal. 258-270.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar